Aku adalah seorang remaja yang berusia 21 tahun. Namun, sampai sekarang aku benar benar merindukan sesosok manusia yang mulai aku kecil selalu berada di sampingku, selalu memberikan semangat untukku dan juga selalu mendoakan aku dimanapun aku berada.
Namun, di balik semua kenangan indah itu. Aku memiliki sebuah kenangan pahit yang aku rasa baru sekarang aku menyadarinya. Bahwa kepahitan tersebut saat ini telah menjadi sesuatu yang manis, sesuatu yang bermanfaat untukku sampai sekarang.
Sosok tersebut adalah sosok Bapak-ku, seseorang yang berwatak keras, disiplin, otoriter, gampang marah dan juga tidak mau tahu terhadap apa yang dilakukan anaknya. Setiap hari saya hanya dapat marah, caci maki, bentak bentak, bahkan kadang kadang saya juga kena pukulan bapak saya jika saya dianggap menyalahi apa yang ada di pikiran bapak-ku itu.
Saat itu yang ada di pikiranku adalah bahwa bapak-ku itu kejam padaku, sampai sampai saya merasa bahwa saya bukan anak kandung bapak saya itu. Tapi karena rasa takut yang amat mendalam, saya akhirnya hanya nurut saja, melakukan apa yang diperintahkan olehnya dan juga menuruti semua keinginannya. Waktunya belajar ya belajar, tidur siang ya tidur siang, bantu bapak buat tempe ya buat tempe, dan banyak lagi yang lainnya.
Jadi, hamir semua yang saya lakukan pada waktu itu kebanyakan adalah keinginan bapak saya. Tetapi, ada yang janggal dengan bapak saya. Pada saat saya menginjak jenjang SMP, semua kekangan dan sifat otoriter bapak telah hilang. Segala kekakuan bapak saya telah lunak. Bapak menjadi tidak pernah marah dan membentak saya lagi. Bahkan segala sesuatu yang aku lakukan tidak dikomentari oleh bapak lagi.
Hal tersebut menjadi aneh untuk saya, akhirnya dengan keberanian yang cukup, saya bertanya kepada bapak saya tentang perihal tersebut. Saat itu, kalimat yang diucapkan oleh bapak saya membekas sampai sekarang.
"Le, awakmu iku bocah lanang, awakmu sak iki wes gede, kudu isok ngatur uripmu dhewe, apik elek awakmu mbesok iku wes aturen dhewe wiwit sak iki"
artinya :
"Nak, kamu itu anak laki laki, kamu sekarang sudah besar, harus bisa menata hidupmu sendiri, baik dan buruknya kamu nanti harus sudah diatur mulai sekarang"
Akhirnya saya menyadari bahwa apa yang diberikan bapak sebagai modal dalam hidup telah cukup. Namun semua itu baru kusadari saat sekarang ini, saat jauh dari orang tua. Terima kasih untuk bapakku di rumah
"Cerita ini diikutsertakan dalam kontes Bahasa Cinta di Atap Biru"
terima kasih partisipasinya ya mas Imam, sudah dicatat sebagai peserta :)
BalasHapus@Nandini : iya, terima kasih, sambil latihan nulis nech mbak
BalasHapus