Gambar di atas adalah gambaran kondisi longsoran yang pernah terjadi di Kecamatan Panti Kabupaten Jember 5 tahun silam, tepatnya pada malam tahun baru 1 Januari 2006. Pada waktu itu banjir bandang yang disertai tanah dan reruntuhan kayu tersebut memakan korban ratusan orang. Bahkan bencana banjir bandang tersebut menjadi populer setelah disematkannya sebuah penghargaan bdari Bapak Presiden kalau bencana tersebut merupakan bencana nasional.
Setelah terjadi bencana alam tersebut, saya rasa pemerintah daerah kabupaten jember pada umumnya dan juga pemerintah daerah perkebunan (PDP) sama sekali tidak melakukan pemetaan atas bencana yang telah terjadi dan juga segera menemukan pencegahannya. Yang mereka lakukan hanyalah dengan semakin memperluas wilayah perkebunan yang secara nyata seharusnya tidak dimanfaatkan untuk perkebunan.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 10.1/ Kpts-II/ 2000 tentang Pedoman Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman pada tanggal 6 November 2000. Dalam Pasal 3 Keputusan Menteri tersebut ditetapkan:
(1) Areal hutan yang dapat dimohon untuk Usaha Hutan Tanaman adalah areal kosong di dalam kawasan hutan produksi dan/ atau areal hutan yang akan dialih fungsikan menjadi kawasan Hutan Produksi serta tidak dibebani hak-hak lain.
(2) Dalam hal alih fungsi kawasan hutan menjadi kawasan hutan produksi, maka prosedurnya harus berkoordinasi dengan DPRD dan disetujui Menteri atas rekomendasi Gubernur.
(3) Keadaan topografi dengan kelerengan maksimal 25%, dan topografi pada kelerengan 8% sampai dengan 25% harus diikuti dengan upaya konservasi tanah.
(4) Keadaan vegetasi berupa non hutan (semak belukar, padang alang-alang dan tanah kosong) atau areal bekas tebangan yang kondisinya rusak dengan potensi kayu bulat berdiameter 10 cm untuk semua jenis kayu dengan kubikasi tidak lebih dari 5m3 per hektar.
Tetapi apa yang terjadi di daerah Kecamatan Panti ternyata sangat berlawanan dengan apa yang telah ditentukan oleh pemerintah terutama pada ayat ketiga yang dengan jelas mengutarakan bahwa adanya hutan produksi tidak boleh melebihi kemiringan 25% dan juga harus memperhatikan konservasi tanah.
Keadaan yang ada di Kecamatan Panti sangat sangat membuat saya terkesima dengan ulah PDP dan juga pemerintah daerah yang secara terang terangan lebih memilih hutan rimba kita menjadi hutan kopi pada kemiringan lebih dari 25%. Bahkan pada bekas longsor pun, mereka masih sempat menanami lagi dengan tanaman kopi bahkan jagung yang saya rasa sangat tidak layak untuk menjadi penyangga hutan.
Saya bertanya dalam hati, mengapa secara sengaja pemerintah daerah mengorbankan rakyatnya sebagai tumbal atas adanya hutan kopi yang selama ini menjadi pemicu longsor di Kecamatan Panti. Apakah mereka hanya pernah diajarkan untuk mengeksploitasi hutan daripada untuk mengkonservasi hutan?
Kemaren malam pada jam 01:30 WIB tanggal 4 Februari 2011 akhirnya yang ditunggu tunggu telah tiba. Lagi lagi bencana longsor terjadi di kecamatan panti. Ada total 4 kawasan yang menjadi lokasi longsor di Panti, yaitu Daerah Besaran Pakis, Gudang Tengah, Kayangan dan juga Klepuh. Kalo sudah seperti ini, siapa yang harus lebih dulu dicengkeram lalu dihabisi???
"apakah pemerintah daerah???"
"apakah PDP???"
Semua kebingungan yang terjadi, seharusnya menjadikan kita lebih menyadari bahwa yang harus kita lakukan adalah dengan tidak mencari kambing hitam atas masalah ini. Yang harus kita lakukan adalah bersama-sama mencari solusi demi kebaikan bersama. Karena yang harus diutamakan adalah keselamatan dan kebahagiaan kita bersama.
Semoga semua elemen yang ada benar benar berperan dalam membangun suatu sistem dengan tatanan yang bisa membawa manfaat, bukan malah membawa bencana bagi kita semua. Satu hal yang pasti, KAMI para PENCINTA ALAM akan selalu berperan menjadi yang terbaik bagi alam dan lingkungan yang ada di sekitar kami.
"Manusia diciptakan untuk hidup selaras dengan lingkungan, bukan untuk menguasai dan mengeksplorasi lingkungan secara berlebihan...."